Wednesday, August 13, 2025

EXPLORASI KEINDAHAN BAWAH TANAH KOTA PACITAN MELALUI KEGIATAN SPESIALISASI MAPALA PASCA UIN PONOROGO

 

EXPLORASI KEINDAHAN BAWAH TANAH KOTA PACITAN MELALUI KEGIATAN SPESIALISASI MAPALA PASCA UIN PONOROGO

 

Abstrak

Pacitan merupakan kota di ujung Barat Daya Provinsi Jawa Timur yang mendapat julukan “Kota 1001 Goa” karena banyaknya goa yang tersebar di wilayah ini. Hal tersebut yang melatarbelakangi kegiatan spesialisasi ini dilakukan di Kota Pacitan yaitu di Gua Plente, Luweng Tanggung, Luweng Jomblang, dan Luweng Pindul. Kegiatan ini bertujuan untuk memperluas pengetahuan dan kemampuan anggota MAPALA PASCA terkait aktifitas susur gua (caving) melalui pendidikan lapangan spesialiasi. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gua di wilayah Pacitan masih memiliki ekosistem yang baik, terbukti dari keberadaan gua yang bisa di-explore dan ornamen-ornamen yang masih aktif serta biota-biota gua yang masih lestari.

 

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

MAPALA PASCA merupakan Unit Kegiatan Mahasispa (UKM) di UIN Ponorogo yang bergerak dalam bidang pecinta alam. Berbagai kegiatan dilakukan MAPALA PASCA untuk menumbuhkan dan mengembangkan minat serta bakat para anggotanya, antara lain penelusuran gua (caving), olahraga arus deras (ORAD), pendakian gunung dan jelajah hutan (GH), panjat tebing (RC), pelestarian lingkungan, serta kegiatan pengabdian masyarakat (PLPM). Seluruh aktivitas tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam organisasi dan menggali potensi yang memiliki kepedulian terhadap alam.

Guna memperluas pengetahuan dan kemampuan anggota, MAPALA PASCA menyelenggarakan rangkaian kegiatan pendidikan yang pajib diikuti, seperti Pendidikan dan Latihan Dasar (DIKLATSAR) serta DIKLAT Lanjutan (DIKJUT). Program ini dirancang tidak hanya untuk meningkatkan kompetensi anggota dalam manajemen organisasi dan prosedur keselamatan di alam bebas, tetapi juga sebagai prasyarat kenaikan tingkat keanggotaan. Setelah menyelesaikan DIKLAT Lanjutan, setiap Anggota Muda (AM) diwajibkan mengikuti program spesialisasi dengan memilih salah satu Divisi di MAPALA PASCA sebagai fokus utama dalam pendalaman ilmu.

Melalui program spesialisasi ini, diharapkan akan muncul generasi penerus yang mampu menjalankan roda organisasi dengan baik. Selain itu, anggota juga diharapkan memahami lebih dalam tentang ilmu penelusuran gua dan makna dari tingkatan dalam kegiatan caving. Alasan memilih spesialisasi ini adalah karena adanya ketertarikan untuk memperdalam pengetahuan dalam bidang penelusuran gua, dengan harapan hasil dari spesialisasi ini dapat memberikan manfaat bagi bangsa, negara, masyarakat sekitar, dan terutama bagi diri kami pribadi.

B.      Dasar Kegiatan

1.   AD/ART MAPALA PASCA

2.   Peraturan Organisasi MAPALA PASCA

3.   Program Kerja MAPALA PASCA Ponorogo Tahun 2024/2025

4.   Hasil Musyawarah MAPALA PASCA

C.     Tujuan Spesialisasi

1.   Meningkatkan keimanan dan ketaqpaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

2.   Mengamalkan kode etik pecinta alam Indonesia.

3.   Sarana untuk mencetak kader PASCA yang berkualitas dan kompetitif kepada organisasi.

4.   Pendalaman materi mengenai caving.

5.   Mencetak generasi yang berkualitas dalam materi dan aplikasi penelusuran gua.

6.   Meningkatkan pengetahuan dan kepedulian terhadap alam dan lingkungan.

7.   Sebagai syarat kenaikan jenjang keanggotaan menuju tingkat AB.

D.     Target Spesialisasi

1.   Mengenal alat caving.

2.   SRT versi HIKESPI di gua vertical 63 meter.

3.   Pengaplikasian self rescue minimal satu teknik di dalam gua.

4.   Pemetaan gua horizontal atau campuran minimal grade 3 kelas C dengan total panjang 300 meter.

5.   Mapping digital.

6.   Gua tempat spesialisasi belum pernah di explore oleh tim MAPALA PASCA

 

METODE

A.     Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tiga lokasi yang berada di Kota Pacitan. Pertama, Gua Plente berada di Dusun Seso, Desa Pringkuku, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan. Kedua, Gua Tanggung berlokasi di Dusun Krajan Lor, Desa Dersono, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan. Ketiga, Gua Jomblang bertempat di Dusun Dokwaru, Desa Bomo, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan. Keempat, Gua Pindul yang berada di Dusun Guwarejo, Desa Sendang, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Adapun pertimbangan dilakukannya kegiatan explore gua di Pacitan utamanya Kecamatan Pringkuku karena terdapat 12 desa dengan total gua ± 600 gua baik vertical maupun horizontal dan masih ada beberapa gua yang belum di-explore oleh komunitas caver pacitan.

B.      Waktu dan Alat Penelitian

Penelitian ini dilakukan oleh tim MAPALA PASCA yang bekerja sama dengan komunitas Pacitan Speleology Society (PSS) selama lima hari pada tanggal 22 sampai 26 Mei 2025. Dengan melibatkan enam anggota dari MAPALA PASCA dan dua anggota dari komunitas Pacitan Speleology Society (PSS).

Proses pengambilan data dilakukan dengan menggunakan alat pengukuran fisik seperti kompas, meteran pita, meteran roll, alat tulis, dan kamera. Selain menggunakan pengukuran fisik, pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan (Outdor Study) yaitu peneliti terlibat langsung dengan kegiatan yang diteliti atau mengaplikasikan konsep yang didapatkan dalam praktek langsung. Menurut Arikunto dalam Kiki menyampaikan, observasi merupakan usaha pengumpulan data atau keterangan dengan mengamati objek yang diteliti secara langsung ke lokasi yang akan diselidiki. [1] Wawancara yaitu proses pengumpulan data melalui interaksi sosial dengan cara tanya jawab antara pewawancara dan narasumber. [2]

C.     Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan  wawancara.

 

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan sesuai dengan target yang telah ditentukan sebelumnya yaitu:

1.   Mengenal alat caving dan SRT versi HIKESPI di gua vertical 63 meter.

Pengaplikasian SRT dilakukan pada tiga gua vertical yaitu Luweng Tanggung dengan panjang 42 meter dengan jumlah pitch ada dua. Luweng Jomblang dengan panjang 16 meter. Serta, Luweng Pindul dengan panjang 15 meter dengan jumlah dua pich.

a.   Luweng Tanggung

Luweng tanggung memiliki kedalaman 53 meter dengan total enam pitch. Namun yang berhasil di-explore hanya mencapai pitch kedua dengan jumlah panjang 42 meter. Hal tersebut dikarenakan lorong menuju pitch tiga sudah tertutup oleh reruntuhan dan tidak bisa dilalui. Sehingga explore tidak dapat dilanjutkan.

Hasil explore di Luweng Tanggung yaitu pada pitch pertama akan disambut dengan ornamen yang masih aktif menjulang ke atas baik di sisi kanan maupun kiri. Dasar gua di pitch pertama terdapat genangan air yang memiliki tinggi sampai ke betis orang dewasa. Pada pitch pertama ini juga terdapat serangga yang memiliki bentuk seperti laba-laba dengan ciri-ciri; berwarna hijau kebiruan, kaki sangat panjang, dan tubuh memiliki motif bintik-bintik berwarna putih. Hewan tersebut disebut ketonggeng/kala cemeti. Selain itu juga terdapat hewan katak, baik yang berukuran besar maupun kecil.

Sebelum menuju pitch kedua, terdapat lorong memanjang di sebelah barat dengan banyak ornamen stalaktit berukuran kecil dan memenuhi lorong namun sudah tidak aktif. Lorong tersebut juga tidak tinggi, namun lebar, hanya bisa dilalui dengan cara duduk/berjongkok. Lorong tersebut juga tidak bisa diexplore lebih jauh karena jalan buntu. Selanjutnya di pitch kedua, caver harus menggunakan tali untuk melakukan explore. Pada pitch kedua ini terdapat aliran air yang tidak terlalu deras berasal dari lorong buntu pada pitch pertama sebelumnya. Pada sela-sela sela dinding juga mengeluarkan air, namun tidak ada genangan air di pitch kedua ini. Dikarenakan dasar lorong bebatuan kars yang sangat banyak, sehingga air tidak bisa menggenang dan meresap kedalam sela-sela bebatuan. Pada pitch kedua ini masih terdapat kehidupan yaitu tempat tinggal kelelawar. Sampai pada pitch kedua ini caver juga masih mendapatkan oksigen yang cukup.

b.   Luweng Jomblang

Luweng jomblang memiliki kedalam ± 40 meter dengan jumlah pitch keseluruhan ada dua. Luweng Jomblang merupakan gua vertical yang memiliki potensi alam cukup bagus, karena di dasar gua terdapat aliran sungainya. Namun, sangat disayangkan gua ini menjadi tempat pembuangan sampah oleh masyarakat, hal itu disebabkan karena kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga ekosistem alam seperti gua.

Berdasarkan pengamatan calon spesialis, Luweng Jomblang ini memiliki entrance berbentuk lingkaran, dan berlokasi di perkebunan singkong milik warga. Pada dinding gua di pitch pertama pun sudah terdapat ornamen gordyn yang memiliki ukuran cukup besar. Namun, sudah tidak aktif karena posisinya berada hampir menyentuh entrance, sehingga terkena zat-zat dari luar seperti air hujan, dan lumpur. Sedangkan di dasar gua terdapat aliran air seperti sungai dan memang suara gemericik air terdengar sampai pitch pertama.

c.   Luweng Pindul

Luweng Pindul memiliki kedalaman ± 22 meter dengan rincian pitch pertama 15 meter dan pitch kedua 7 meter. Luweng pindul memiliki entrance berbentuk lingkaran dan memiliki ukuran yang sangat kecil dan ditumbuhi pohon di tenggah entrance yang akarnya berasal dari celah-celah dinding gua. Jika dilihat dari luar tampilan gua ini menyerupai sumur tua. Apalagi bentuk entrance gua disusun dengan batu-batu yang melingkar dan pohon yang menjulang dari dalam gua.

Setelah masuk ke dalam, gua ini berbentuk memanjang sampai dasar. Dinding gua ini merupakan bebatuan tajam jenis kars dan pada sela sela bebatuan mengeluarkan tetesan-tetesan air. Namun, di dasar gua tidak terdapat genangan air, hanya bebatuan-bebatuan saja dengan sedikit lumpur. Di dalam gua ini juga terdapat kehidupan hewan-hewan seperti kelelawar, nyamuk, tokek, dan jangkrik. Namun, gua ini memiliki kadar oksigen lumayan tipis dan ukuran yang sempit.

2.   Pengaplikasian self rescue minimal satu teknik di dalam gua.

Pengaplikasin self rescue dilakukan di gua jomblong pada kedalaman 42 meter yaitu pada pitch dua. Alasan memilih lokasi di pitch kedua ini karena terdapat banyak anchor alami yang dapat digunakan sebagai rigging. Adapun Teknik self rescue yang digunakan pada kegiatan ini adalah teknik croll to croll.

3.   Pemetaan gua horizontal atau campuran minimal grade 3 kelas C dengan total panjang 300 meter.

Pemetaan gua horizontal dilaksanakan di Gua Plente yang memiliki panjang keseluruhan ± 4 km. Gua plente merupakan daerah aliran air namun tidak berpotensi banjir yang membahayakan, terbukti dari banyaknya ornamen yang masih aktif. Gua Plente ini merupakan pusat depresi, namun tidak memiliki celah lain selain dari entrance. Jadi ketika gua tersebut akan dieksplore maka kuncinya tergantung penjagaan dari luar, harus segera bertindak jika terjadi suatu hal dan tetap menjalin komunikasi.

Gua ini memiliki bentuk entrance vertical, karena sudah disediakan tanggal dari besi jadi caver tidak perlu membuat rigging untuk turun ke bawah. Saat berada di pitch kedua (posisi horizontal) akan langsung disambut dengan ornamen-ornamen yang sangat indah dan berukuran sangat besar walaupun sudah tidak aktif lagi. Ornamen yang terdapat di pintu gua itu seperti stalaktit, stalakmit, coloumb.

Pada kedalaman ± 90 meter terdapat aliran sungai kecil yang dikelilingi oleh ornamen aktif seperti gordyn/shawl, gourdam, dan stalakmit, dan flowstone. Aliran sungai kecil ini bermuara pada kedalaman ± 256 meter. Jadi hilir sunggai tersebut menggenang cukup dalam sekitar sampai dada orang dewasa. Namun disebelah barat genangan tersebut masih bisa dilewati tanpa pelampung. Meskipun medan licin karena lumpur.

Pada kedalaman ± 200 m medan sudah mulai naik-turun dan curam, serta berlumpur sehingga cukup sulit untuk dilalui. Sehingga calon spesialis dan tim menggunakan webbing sebagai lintasannya. Namun demikian, semakin masuk ke dalam gua ornamen yang disuguhkan berukuran semakin besar, seperti shawl/gordyn, stalaktit, stalakmit, dan flowstone.

Pada kedalaman ini juga oksigen semakin menipis. Minimnya oksigen di Gua Plente dan Gua Pindul mungkin disebabkan karena memiliki ventilasi terbatas, sehingga udara segar tidak dapat masuk dengan mudah. Proses geologi seperti pelapukan bebatuan yang dapat mengonsumsi oksigen. Serta keberadaan gua yang dalam atau sulit dijangkau dapat memiliki keterbatasan akses udara segar. Sehingga menyebabkan konsentrasi oksigen di dalam gua menjadi lebih rendah dibandingkan dengan lingkungan luar. Adapun penyebab lain dari sesak nafas paktu di dalam gua mungkin dikarenakan hiperventilasi yaitu kondisi seseorang yang bernafas terlalu cepat dan dalam sehingga terjadi ketidakseimbangan kadar oksigen dan karbon dioksida dalam darah. Hiperventilasi bisa terjadi karena aktivitas fisik yang berat, panik, cemas.

4.   Mapping digital.

Kegiatan spesialisasi ini juga memanfaatkan media digital pada kegiatan mapping atau pemetaan gua. Mapping digital dilakukan setelah seluruh serangkaian kegiatan spesialisasi selesai. Mapping digital pada kegiatan spesialisasi ini hanya digunakan untuk mengambar peta gua saja. Sedangkan pengambilan data dan pengolahannya menggunakan teknik manual. Mapping digital ini dilakukan dengan menggunakan aplikasi survex. survex adalah aplikasi yang dirancang untuk membantu pemetaan gua yang lebih efisien dan ekspor peta. Aplikasi ini bisa digunakan secara online maupun offline. Aplikasi ini memungkinkan pengguna untuk memasukkan data gua seperti jarak antar stasiun, sudut kompas, kemiringan, jarak kiri-kanan dan atas-bawah, yang nantikan akan diolah secara otomatis oleh aplikasi menjadi sebuah peta.

 

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1.   Gua plente merupakan daerah aliran air namun tidak berpotensi banjir yang membahayakan, terbukti dari banyaknya ornamen yang masih aktif. Gua Plente ini merupakan pusat depresi, namun tidak memiliki celah lain selain dari entrance. Jadi ketika gua tersebut akan dieksplore maka kuncinya tergantung penjagaan dari luar, harus segera bertindak jika terjadi suatu hal dan tetap menjalin komunikasi.

2.   Luweng Tanggung merupakan gua vertical yang sebenarnya memiliki kedalaman ± 53 meter dengan total 6 pitch. Namun, pada saat di-explore kembali oleh tim spesialisasi MAPALA PASCA ternyata pitch ke-3 hingga seterusnya sudah tertutup oleh reruntuhan.

3.   Luweng Jomblang merupakan gua vertical yang memiliki potensi alam cukup bagus, karena di dasar gua terdapat aliran sungainya. Namun, sangat disayangkan gua ini menjadi tempat pembuangan sampah oleh masyarakat, hal itu disebabkan karena kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjadi ekosistem alam seperti gua.

4.   Minimnya oksigen di Gua Plente dan Gua Pindul mungkin disebabkan karena memiliki ventilasi terbatas, sehingga udara segar tidak dapat masuk dengan mudah. Proses geologi seperti pelapukan bebatuan yang dapat mengonsumsi oksigen. Serta keberadaan gua yang dalam atau sulit dijangkau dapat memiliki keterbatasan akses udara segar. Sehingga menyebabkan konsentrasi oksigen di dalam gua menjadi lebih rendah dibandingkan dengan lingkungan luar.

5.   Adapun penyebab lain dari sesak nafas paktu di dalam gua mungkin dikarenakan hiperventilasi yaitu kondisi seseorang yang bernafas terlalu cepat dan dalam sehingga terjadi ketidakseimbangan kadar oksigen dan karbon dioksida dalam darah. Hiperventilasi bisa terjadi karena aktivitas fisik yang berat, panik, cemas.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Edi, Fandi Rosi Sarwo. Teori Wawancara Psikodignostik. Penerbit LeutikaPrio, n.d.

Joesyiana, Kiki. “PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN OBSERVASI LAPANGAN (OUTDOR STUDY) PADA MATA KULIAH MANAJEMEN OPERASIONAL (Survey Pada Mahasiswa Jurusan Manajemen Semester III Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Persada Bunda).” PEKA 6, no. 2 (2018): 90–103.

 

LAMPIRAN

Entrance Gua Plente

Mapping

Luweng Tanggung & Stalaktit

Self Rescue (Croll to Croll)

Entrance Luweng Pindul

Luweng Pindul

Gordyn

Stalaktite, Stalakmite, Coloum, Gordyn

Gourdam

Soda Straw

Tokek di Luweng Pindul

Ketonggeng / Kala Cemeti (phip scorpion)

Kaki Seribu di Luweng Pindul

Jangkrik di Luweng Pindul

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENGOLAHAN DATA

 

 

 

 

 

 

Tampak Atas

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tampak depan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tampak Samping

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Joesyiana, “PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN OBSERVASI LAPANGAN (OUTDOR STUDY) PADA MATA KULIAH MANAJEMEN OPERASIONAL (Survey Pada Mahasiswa Jurusan Manajemen Semester III Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Persada Bunda),” 94.

[2] Edi, Teori Wawancara Psikodignostik, 3.

No comments:

Post a Comment