EXPLORASI KEINDAHAN BAWAH TANAH KOTA
PACITAN MELALUI KEGIATAN SPESIALISASI MAPALA PASCA UIN PONOROGO
Abstrak
Pacitan merupakan kota di ujung Barat Daya Provinsi
Jawa Timur yang mendapat julukan “Kota 1001 Goa” karena banyaknya goa yang
tersebar di wilayah ini. Hal tersebut yang melatarbelakangi kegiatan
spesialisasi ini dilakukan di Kota Pacitan yaitu di Gua Plente, Luweng
Tanggung, Luweng Jomblang, dan Luweng Pindul. Kegiatan ini bertujuan untuk
memperluas pengetahuan dan kemampuan anggota MAPALA PASCA terkait aktifitas
susur gua (caving) melalui pendidikan lapangan spesialiasi. Teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan observasi dan wawancara. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa gua di wilayah Pacitan masih memiliki ekosistem
yang baik, terbukti dari keberadaan gua yang bisa di-explore dan
ornamen-ornamen yang masih aktif serta biota-biota gua yang masih lestari.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
MAPALA PASCA merupakan
Unit Kegiatan Mahasispa (UKM) di UIN Ponorogo yang bergerak dalam bidang
pecinta alam. Berbagai kegiatan dilakukan MAPALA PASCA untuk menumbuhkan dan
mengembangkan minat serta bakat para anggotanya, antara lain penelusuran gua (caving),
olahraga arus deras (ORAD), pendakian gunung dan jelajah hutan (GH), panjat
tebing (RC), pelestarian lingkungan, serta kegiatan pengabdian masyarakat
(PLPM). Seluruh aktivitas tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia dalam organisasi dan menggali potensi yang memiliki kepedulian
terhadap alam.
Guna memperluas
pengetahuan dan kemampuan anggota, MAPALA PASCA menyelenggarakan rangkaian
kegiatan pendidikan yang pajib diikuti, seperti Pendidikan dan Latihan Dasar
(DIKLATSAR) serta DIKLAT Lanjutan (DIKJUT). Program ini dirancang tidak hanya
untuk meningkatkan kompetensi anggota dalam manajemen organisasi dan prosedur
keselamatan di alam bebas, tetapi juga sebagai prasyarat kenaikan tingkat
keanggotaan. Setelah menyelesaikan DIKLAT Lanjutan, setiap Anggota Muda (AM)
diwajibkan mengikuti program spesialisasi dengan memilih salah satu Divisi di
MAPALA PASCA sebagai fokus utama dalam pendalaman ilmu.
Melalui program
spesialisasi ini, diharapkan akan muncul generasi penerus yang mampu
menjalankan roda organisasi dengan baik. Selain itu, anggota juga diharapkan
memahami lebih dalam tentang ilmu penelusuran gua dan makna dari tingkatan
dalam kegiatan caving. Alasan memilih spesialisasi ini adalah karena
adanya ketertarikan untuk memperdalam pengetahuan dalam bidang penelusuran gua,
dengan harapan hasil dari spesialisasi ini dapat memberikan manfaat bagi
bangsa, negara, masyarakat sekitar, dan terutama bagi diri kami pribadi.
B. Dasar
Kegiatan
1. AD/ART
MAPALA PASCA
2. Peraturan
Organisasi MAPALA PASCA
3. Program
Kerja MAPALA PASCA Ponorogo Tahun 2024/2025
4. Hasil
Musyawarah MAPALA PASCA
C. Tujuan
Spesialisasi
1. Meningkatkan
keimanan dan ketaqpaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2. Mengamalkan
kode etik pecinta alam Indonesia.
3. Sarana
untuk mencetak kader PASCA yang berkualitas dan kompetitif kepada organisasi.
4. Pendalaman
materi mengenai caving.
5. Mencetak
generasi yang berkualitas dalam materi dan aplikasi penelusuran gua.
6. Meningkatkan
pengetahuan dan kepedulian terhadap alam dan lingkungan.
7. Sebagai
syarat kenaikan jenjang keanggotaan menuju tingkat AB.
D. Target
Spesialisasi
1. Mengenal
alat caving.
2. SRT
versi HIKESPI di gua vertical 63 meter.
3. Pengaplikasian
self rescue minimal satu teknik di dalam gua.
4. Pemetaan
gua horizontal atau campuran minimal grade 3 kelas C dengan total
panjang 300 meter.
5. Mapping
digital.
6. Gua
tempat spesialisasi belum pernah di explore oleh tim MAPALA PASCA
METODE
A. Lokasi
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan
pada tiga lokasi yang berada di Kota Pacitan. Pertama, Gua Plente berada di
Dusun Seso, Desa Pringkuku, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan. Kedua, Gua
Tanggung berlokasi di Dusun Krajan Lor, Desa Dersono, Kecamatan Pringkuku,
Kabupaten Pacitan. Ketiga, Gua Jomblang bertempat di Dusun Dokwaru, Desa Bomo,
Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan. Keempat, Gua Pindul yang berada di Dusun
Guwarejo, Desa Sendang, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.
Adapun pertimbangan dilakukannya kegiatan explore gua di Pacitan
utamanya Kecamatan Pringkuku karena terdapat 12 desa dengan total gua ± 600 gua
baik vertical maupun horizontal dan masih ada beberapa gua yang belum
di-explore oleh komunitas caver pacitan.
B. Waktu
dan Alat Penelitian
Penelitian ini dilakukan
oleh tim MAPALA PASCA yang bekerja sama dengan komunitas Pacitan Speleology
Society (PSS) selama lima hari pada tanggal 22 sampai 26 Mei 2025. Dengan melibatkan
enam anggota dari MAPALA PASCA dan dua anggota dari komunitas Pacitan
Speleology Society (PSS).
Proses pengambilan data
dilakukan dengan menggunakan alat pengukuran fisik seperti kompas, meteran
pita, meteran roll, alat tulis, dan kamera. Selain menggunakan pengukuran
fisik, pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan (Outdor Study)
yaitu peneliti terlibat langsung dengan kegiatan yang diteliti atau
mengaplikasikan konsep yang didapatkan dalam praktek langsung. Menurut Arikunto
dalam Kiki menyampaikan, observasi merupakan usaha pengumpulan data atau
keterangan dengan mengamati objek yang diteliti secara langsung ke lokasi yang
akan diselidiki. [1]
Wawancara yaitu proses pengumpulan data melalui interaksi sosial dengan cara
tanya jawab antara pewawancara dan narasumber. [2]
C. Metode
Penelitian
Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif
kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Penelitian
ini dilakukan sesuai dengan target yang telah ditentukan sebelumnya yaitu:
1. Mengenal
alat caving dan SRT versi HIKESPI di gua vertical 63 meter.
Pengaplikasian SRT
dilakukan pada tiga gua vertical yaitu Luweng Tanggung dengan panjang 42
meter dengan jumlah pitch ada dua. Luweng Jomblang dengan panjang 16
meter. Serta, Luweng Pindul dengan panjang 15 meter dengan jumlah dua pich.
a. Luweng
Tanggung
Luweng tanggung memiliki
kedalaman 53 meter dengan total enam pitch. Namun yang berhasil di-explore
hanya mencapai pitch kedua dengan jumlah panjang 42 meter. Hal tersebut
dikarenakan lorong menuju pitch tiga sudah tertutup oleh reruntuhan dan
tidak bisa dilalui. Sehingga explore tidak dapat dilanjutkan.
Hasil explore di
Luweng Tanggung yaitu pada pitch pertama akan disambut dengan ornamen
yang masih aktif menjulang ke atas baik di sisi kanan maupun kiri. Dasar gua di
pitch pertama terdapat genangan air yang memiliki tinggi sampai ke betis
orang dewasa. Pada pitch pertama ini juga terdapat serangga yang
memiliki bentuk seperti laba-laba dengan ciri-ciri; berwarna hijau kebiruan,
kaki sangat panjang, dan tubuh memiliki motif bintik-bintik berwarna putih. Hewan
tersebut disebut ketonggeng/kala cemeti. Selain itu juga terdapat hewan katak,
baik yang berukuran besar maupun kecil.
Sebelum menuju pitch
kedua, terdapat lorong memanjang di sebelah barat dengan banyak ornamen
stalaktit berukuran kecil dan memenuhi lorong namun sudah tidak aktif. Lorong
tersebut juga tidak tinggi, namun lebar, hanya bisa dilalui dengan cara
duduk/berjongkok. Lorong tersebut juga tidak bisa diexplore lebih jauh karena
jalan buntu. Selanjutnya di pitch kedua, caver harus menggunakan
tali untuk melakukan explore. Pada pitch kedua ini terdapat
aliran air yang tidak terlalu deras berasal dari lorong buntu pada pitch
pertama sebelumnya. Pada sela-sela sela dinding juga mengeluarkan air, namun
tidak ada genangan air di pitch kedua ini. Dikarenakan dasar lorong
bebatuan kars yang sangat banyak, sehingga air tidak bisa menggenang dan meresap
kedalam sela-sela bebatuan. Pada pitch kedua ini masih terdapat
kehidupan yaitu tempat tinggal kelelawar. Sampai pada pitch kedua ini caver
juga masih mendapatkan oksigen yang cukup.
b. Luweng
Jomblang
Luweng jomblang memiliki
kedalam ± 40 meter dengan jumlah pitch keseluruhan ada dua. Luweng
Jomblang merupakan gua vertical yang memiliki potensi alam cukup bagus,
karena di dasar gua terdapat aliran sungainya. Namun, sangat disayangkan gua
ini menjadi tempat pembuangan sampah oleh masyarakat, hal itu disebabkan karena
kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga ekosistem alam
seperti gua.
Berdasarkan pengamatan
calon spesialis, Luweng Jomblang ini memiliki entrance berbentuk
lingkaran, dan berlokasi di perkebunan singkong milik warga. Pada dinding gua
di pitch pertama pun sudah terdapat ornamen gordyn yang memiliki
ukuran cukup besar. Namun, sudah tidak aktif karena posisinya berada hampir
menyentuh entrance, sehingga terkena zat-zat dari luar seperti air
hujan, dan lumpur. Sedangkan di dasar gua terdapat aliran air seperti sungai
dan memang suara gemericik air terdengar sampai pitch pertama.
c. Luweng
Pindul
Luweng Pindul memiliki
kedalaman ± 22 meter dengan rincian pitch pertama 15 meter dan pitch
kedua 7 meter. Luweng pindul memiliki entrance berbentuk lingkaran dan
memiliki ukuran yang sangat kecil dan ditumbuhi pohon di tenggah entrance
yang akarnya berasal dari celah-celah dinding gua. Jika dilihat dari luar
tampilan gua ini menyerupai sumur tua. Apalagi bentuk entrance gua
disusun dengan batu-batu yang melingkar dan pohon yang menjulang dari dalam
gua.
Setelah masuk ke dalam,
gua ini berbentuk memanjang sampai dasar. Dinding gua ini merupakan bebatuan
tajam jenis kars dan pada sela sela bebatuan mengeluarkan tetesan-tetesan air. Namun,
di dasar gua tidak terdapat genangan air, hanya bebatuan-bebatuan saja dengan
sedikit lumpur. Di dalam gua ini juga terdapat kehidupan hewan-hewan seperti
kelelawar, nyamuk, tokek, dan jangkrik. Namun, gua ini memiliki kadar oksigen
lumayan tipis dan ukuran yang sempit.
2. Pengaplikasian
self rescue minimal satu teknik di dalam gua.
Pengaplikasin self
rescue dilakukan di gua jomblong pada kedalaman 42 meter yaitu pada pitch
dua. Alasan memilih lokasi di pitch kedua ini karena terdapat banyak anchor
alami yang dapat digunakan sebagai rigging. Adapun Teknik self rescue
yang digunakan pada kegiatan ini adalah teknik croll to croll.
3. Pemetaan
gua horizontal atau campuran minimal grade 3 kelas C dengan total
panjang 300 meter.
Pemetaan gua horizontal
dilaksanakan di Gua Plente yang memiliki panjang keseluruhan ± 4 km. Gua plente
merupakan daerah aliran air namun tidak berpotensi banjir yang membahayakan,
terbukti dari banyaknya ornamen yang masih aktif. Gua Plente ini merupakan
pusat depresi, namun tidak memiliki celah lain selain dari entrance. Jadi
ketika gua tersebut akan dieksplore maka kuncinya tergantung penjagaan dari
luar, harus segera bertindak jika terjadi suatu hal dan tetap menjalin
komunikasi.
Gua ini memiliki bentuk entrance
vertical, karena sudah disediakan tanggal dari besi jadi caver tidak perlu
membuat rigging untuk turun ke bawah. Saat berada di pitch kedua
(posisi horizontal) akan langsung disambut dengan ornamen-ornamen yang sangat
indah dan berukuran sangat besar walaupun sudah tidak aktif lagi. Ornamen yang
terdapat di pintu gua itu seperti stalaktit, stalakmit, coloumb.
Pada kedalaman ± 90 meter
terdapat aliran sungai kecil yang dikelilingi oleh ornamen aktif seperti
gordyn/shawl, gourdam, dan stalakmit, dan flowstone. Aliran sungai kecil ini bermuara
pada kedalaman ± 256 meter. Jadi hilir sunggai tersebut menggenang cukup dalam
sekitar sampai dada orang dewasa. Namun disebelah barat genangan tersebut masih
bisa dilewati tanpa pelampung. Meskipun medan licin karena lumpur.
Pada kedalaman ± 200 m
medan sudah mulai naik-turun dan curam, serta berlumpur sehingga cukup sulit
untuk dilalui. Sehingga calon spesialis dan tim menggunakan webbing
sebagai lintasannya. Namun demikian, semakin masuk ke dalam gua ornamen yang
disuguhkan berukuran semakin besar, seperti shawl/gordyn, stalaktit,
stalakmit, dan flowstone.
Pada kedalaman ini juga
oksigen semakin menipis. Minimnya oksigen di Gua Plente dan Gua Pindul mungkin
disebabkan karena memiliki ventilasi terbatas, sehingga udara segar tidak dapat
masuk dengan mudah. Proses geologi seperti pelapukan bebatuan yang dapat
mengonsumsi oksigen. Serta keberadaan gua yang dalam atau sulit dijangkau dapat
memiliki keterbatasan akses udara segar. Sehingga menyebabkan konsentrasi
oksigen di dalam gua menjadi lebih rendah dibandingkan dengan lingkungan luar.
Adapun penyebab lain dari sesak nafas paktu di dalam gua mungkin dikarenakan
hiperventilasi yaitu kondisi seseorang yang bernafas terlalu cepat dan dalam
sehingga terjadi ketidakseimbangan kadar oksigen dan karbon dioksida dalam
darah. Hiperventilasi bisa terjadi karena aktivitas fisik yang berat,
panik, cemas.
4. Mapping
digital.
Kegiatan spesialisasi ini
juga memanfaatkan media digital pada kegiatan mapping atau pemetaan gua.
Mapping digital dilakukan setelah seluruh serangkaian kegiatan
spesialisasi selesai. Mapping digital pada kegiatan spesialisasi ini
hanya digunakan untuk mengambar peta gua saja. Sedangkan pengambilan data dan
pengolahannya menggunakan teknik manual. Mapping digital ini dilakukan
dengan menggunakan aplikasi survex. survex adalah aplikasi yang dirancang untuk
membantu pemetaan gua yang lebih efisien dan ekspor peta. Aplikasi ini bisa
digunakan secara online maupun offline. Aplikasi ini memungkinkan pengguna
untuk memasukkan data gua seperti jarak antar stasiun, sudut kompas,
kemiringan, jarak kiri-kanan dan atas-bawah, yang nantikan akan diolah secara
otomatis oleh aplikasi menjadi sebuah peta.
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Gua
plente merupakan daerah aliran air namun tidak berpotensi banjir yang
membahayakan, terbukti dari banyaknya ornamen yang masih aktif. Gua Plente ini
merupakan pusat depresi, namun tidak memiliki celah lain selain dari entrance.
Jadi ketika gua tersebut akan dieksplore maka kuncinya tergantung penjagaan
dari luar, harus segera bertindak jika terjadi suatu hal dan tetap menjalin
komunikasi.
2. Luweng
Tanggung merupakan gua vertical yang sebenarnya memiliki kedalaman ± 53 meter
dengan total 6 pitch. Namun, pada saat di-explore kembali oleh tim
spesialisasi MAPALA PASCA ternyata pitch ke-3 hingga seterusnya sudah
tertutup oleh reruntuhan.
3. Luweng
Jomblang merupakan gua vertical yang memiliki potensi alam cukup bagus,
karena di dasar gua terdapat aliran sungainya. Namun, sangat disayangkan gua
ini menjadi tempat pembuangan sampah oleh masyarakat, hal itu disebabkan karena
kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjadi ekosistem alam
seperti gua.
4. Minimnya
oksigen di Gua Plente dan Gua Pindul mungkin disebabkan karena memiliki
ventilasi terbatas, sehingga udara segar tidak dapat masuk dengan mudah. Proses
geologi seperti pelapukan bebatuan yang dapat mengonsumsi oksigen. Serta
keberadaan gua yang dalam atau sulit dijangkau dapat memiliki keterbatasan
akses udara segar. Sehingga menyebabkan konsentrasi oksigen di dalam gua
menjadi lebih rendah dibandingkan dengan lingkungan luar.
5. Adapun
penyebab lain dari sesak nafas paktu di dalam gua mungkin dikarenakan
hiperventilasi yaitu kondisi seseorang yang bernafas terlalu cepat dan dalam
sehingga terjadi ketidakseimbangan kadar oksigen dan karbon dioksida dalam
darah. Hiperventilasi bisa terjadi karena aktivitas fisik yang berat, panik,
cemas.
DAFTAR PUSTAKA
Edi, Fandi Rosi Sarwo. Teori Wawancara
Psikodignostik. Penerbit LeutikaPrio, n.d.
Joesyiana, Kiki. “PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN
OBSERVASI LAPANGAN (OUTDOR STUDY) PADA MATA KULIAH MANAJEMEN OPERASIONAL
(Survey Pada Mahasiswa Jurusan Manajemen Semester III Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Persada Bunda).” PEKA 6, no. 2 (2018): 90–103.
LAMPIRAN
|
|
Entrance Gua Plente |
Mapping |
|
|
Luweng
Tanggung & Stalaktit |
Self
Rescue (Croll to Croll) |
|
|
Entrance
Luweng
Pindul |
Luweng
Pindul |
|
|
Gordyn |
Stalaktite,
Stalakmite, Coloum, Gordyn |
|
|
Gourdam |
Soda
Straw |
|
|
Tokek
di Luweng Pindul |
Ketonggeng
/ Kala Cemeti (phip scorpion) |
|
|
Kaki
Seribu di Luweng Pindul |
Jangkrik
di Luweng Pindul |
PENGOLAHAN DATA
|
|
Tampak Atas
|
|
|
|
|
|
Tampak depan
Tampak Samping
|
|
|
|
No comments:
Post a Comment