IMPLEMENTASI PEMETAAN GUA DAN
MENGEKSPLORASI KEHIDUPAN SERTA KEINDAHAN DI KAWASAN KARS PACITAN
Aura Putri Agustin, Zidna Nafishotul
Luthfiyah
UKM
MAPALA PASCA IAIN Ponorogo
Email:
auraputriagustin29@gmail.com,
zidnanafiyah360@gmail.com
Abstrak
Implementasi dalam
pemetaan gua
dilakukan oleh kelompok Pecinta Alam merupakan suatu kegiatan yang memerlukan
bekal pengetahuan tersendiri agar dalam pengeksploran bisa mengimplementasikan
dengan baik. Dalam kegiatan susur gua (caving)
ini tidak hanya sekedar memetakan gua saja tetapi banyak pengetahuan dan
wawasan baru yang diperoleh terkait kehidupan dan juga keindahan alam bawah
tanah yang belum tentu semua orang bisa merasakannya. Pacitan merupakan daerah
yang banyak terdapat gua, bahkan mempunyai jargon “Kota 1001 Gua”. Implementasi
susur gua (caving) seperti yang
dilakukan di Gua Dawung dan Gua (Luweng) Musuk. Dalam implementasinya kegiatan
ini melakukan eksplor, kemudian melakukan observasi guna mendapatkan data atau
informasi terkait kehidupan dan keindahan kedua gua tersebut. Selain dari
eksplor dan observasi juga dilakukan wawancara kepada warga sekitar yang sudah
berpengalaman juga dalam susur gua (caving).
Kata Kunci: Implementasi, Pemetaan Gua, Eksplor, Pacitan
Abstrak
The implementation of
cave mapping carried out by the Nature Lovers group is an activity that
requires its own knowledge so that the exploration can be implemented well. In
this cave tracing activity, it is not just about mapping caves, but a lot of
new knowledge and insight is gained regarding life and also the beauty of the
underground world which not everyone can experience. Pacitan is an area where
there are many caves, it even has the jargon "City of 1001 Caves".
Implementation of caving as carried out in Dawung Cave and Musuk Cave (Luweng).
In its implementation, this activity carries out exploration, then makes
observations to obtain data or information related to the life and beauty of the
two caves. Apart from exploring and observing, interviews were also conducted
with local residents who had experience in cave exploration.
Keywords: Implementation, Cave Mapping, Exploration, Pacitan
Pendahuluan
Indonesia memiliki kawasan karst yang membentang di seluruh Nusantara.
Sayangnya, belum semua orang sadar dan mengetahui akan potensi yang dimiliki di
kawasan karst tersebut. Terdapat kesalahan persepsi dan penafsiran masyarakat
secara umum akan fungsi kawasan karst, karena minimnya pengetahuan dan
keterbatasan informasi. Karst memiliki banyak manfaat yang penting bagi
ekosistem dan manusia. Akan tetapi ekosistem gua sangatlah rentan, sebab
dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, dan kegelapan yang memberikan fungsi
ekologis yang berupa keberagaman fauna di dalam gua yang sebagian endemik dan
unik.
Gua adalah lubang alami di dalam
tanah yang dapat dimasuki oleh manusia. Sedangkan caving adalah kegiatan susur gua. Di Indonesia terdapat banyak
sekali gua - gua. Kawasan gua tersebut dinamakan kawasan karst. Gua Dawung yang
merupakan gua horizontal ini berada di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo,
Kabupaten Pacitan. Gua ini ditetapkan sebagai gua yang mempunyai kehidupan
karena di dalamnya terdapat makhluk hidup yang bersemayam di dalamnya, seperti
binatang. Di dalamnya terdapat aliran sungai yang dapat dimanfaatkan sebagai
sumber air bagi masyarakat sekitar. Keindahan alam Gua Dawung ini masih tetap
ada, tentu saja sangat sedikit orang yang terlibat di dalamnya kecuali untuk
mempelajari ilmu gua. Selain dari gua Dawung ini juga terdapat Gua (Luweng)
Musuk yang termasuk dalam gua vertikal yang memiliki kedalaman kurang lebih 70
- 80 meter.
Speleology adalah ilmu yang
mempelajari gua dan lingkungannya. Bagian
dari ilmu gua adalah pemetaan gua. Dalam peta gua dapat disediakan informasi
atau referensi bagi penjelajah gua. Dalam sebuah penelitian juga harus
memperhatikan etika penjelajahan gua agar tidak mengorbankan kelestarian dan
memperpanjang umur gua. Caving
mempunyai kode etik yang harus dijaga dan dilestarikan semaksimal mungkin sejak
dini, karena ini berkaitan dengan jangka waktu. Untuk menjaga umur gua agar
tetap alami, etika penelitiannya yaitu mencakup tidak mengambil apa pun kecuali
foto (Take Nothing But Picture),
tidak menyisakan atau meninggalkan apa pun kecuali jejak (Leave Nothing But Footprint), dan tidak membunuh apa pun kecuali
waktu (Kill Nothing But Time).
Pacitan merupakan daerah yang yang memiliki jargon “Kota 1001 Gua”.
Kabupaten Pacitan merupakan daerah yang memiliki banyak gua, sebagai salah satu
khas daerah karst (batuan kapur) yang dominan memenuhi wilayah tersebut. Karena
banyaknya gua yang ada di Pacitan, maka kelompok Pecinta Alam terutama yang
berkegiatan di susur gua (caving)
sering melakukan kegiatan explore di
sana. Banyak gua-gua yang masih sedikit di explore
dan bahkan ada yang sama sekali belum di explore.
Kegiatan susur gua (caving) ini
tentunya tidak boleh sembarangan. Sebelum berkegiatan perlu adanya pengetahuan
dan pemahaman terkait caving dan
keilmuan dalam mengeksplorasi karst yang ada di Indonesia. Dalam penelitian ini
kami dari Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam, Persaudaraan Mahasiswa
Solidaritas Pecinta Alam (MAPALA PASCA) IAIN Ponorogo melaksanakan kegiatan
susur gua (caving) di gua Dawung (Horizontal) dan di gua (luweng) Musuk (Vertical). Dengan mengeksplorasi terkait
kedua gua tersebut, guna mengimplementasikan keilmuan yang diperoleh dan mampu
mempublikasi hasil penelitian sehingga dapat memperkaya sains, data, dan mengetahui potensi gua tersebut.
Metode
Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini berdasarkan dengan cara penelitian deskriptif yang bertujuan
untuk mendiskripsikan atau menggambarkan obyek dalam penelitian. Penelitian ini
mengkaji beberapa variabel,
yaitu pemetaan gua dan explore. Alat dan bahan yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi peralatan
dan bahan untuk survey: Clinometer, Kompas, pita ukur, headlamp, dan ATK. Teknik pengumpulan data; dalam pengukuran di lapangan, yang digunakan
adalah forward method yaitu Shooter di stasiun ke 1 dan pointer di stasiun
ke 2
setelah selesai shooter di stasiun
kedua dan pointer di stasiun ke 3,
begitu seterusnya hingga pemetaan selesai. Sedangkan untuk pengolahan data kami
menggunakan standar grade 3 class C yaitu, sketsa
dibuat di dalam gua, sudah menggunakan alat ukur tetapi masih ada selisih
perhitungan. Menggunakan kompas, tali ukur/ roll meter yang ditandai
tiap meternya dengan ketelitian pengukuran 25 cm per 5 m. dan detail diukur
pada tiap stasiun survey. Analisis data yang digunakan yaitu, pemetaan
gua yang bertujuan untuk menggambarkan kondisi di dalam gua. Peta gua dibuat
secara manual dengan bantuan alat dengan peta yang dihasilkan merupakan peta gua
tampak atas, tampak samping
dan tampak depan.
Analisis dan Pembahasan
a.
Kajian
Teori
Gua menurut IUS (International
Union of Speleology) yaitu bentukan alamiah di bagian bawah tanah bumi yang
cukup besar untuk ditelusuri oleh manusia. Adapun kajian ilmiah yang mempelajari
tentang gua dan lingkungannya disebut speleology sedangkan kajian khusus
mengenai makhluk hidup/organisme yang hidup di dalam gua disebut biospeleology
(DIKTAT GEGAMA, 2007). Gua sebagai sebuah ekosistem semi tertutup yang hanya
mendapat sedikit sekali energi dari matahari, dapat menjadi habitat bagi
makhluk hidup dengan ciri kondisi lingkungan yang sangat khas dibanding habitat
di luar gua, memiliki ciri khusus dan mudah dikenali, diantaranya adalah
radiasi yang diterima masuk baik dalam lingkungan gua melalui mulut gua maupun
lubang jendela gua (aven), gelap
total sepanjang tahun, suhu udara yang relatif konstan serta kelembapan yang
tinggi. Lingkungan gua terdiri dari dua yaitu eksokarst dan endokarst.
Beberapa daya tarik yang
dapat digali untuk dikembangkan menjadi daya tarik wisata meliputi: keindahan
dan keunikan gua,
baik di permukaan maupun di dalam gua yaitu ornamen gua. Ornamen atau dekorasi
gua (speleothem) terbentuk karena didominasi proses solusional
dan terjadi dalam rentang waktu yang sangat lama. Beberapa ornamen gua yang
ditemukan pada gua-gua
di Pulau Nusakambangan, yaitu: stalaktit, straw, stalakmit, cave pearl,
columns, canopy, gordyn, draperies, gourdam. Selain ornament kita
juga dapat menjumpai chamber yaitu, lorong gua yang sangat besar yang
berbentuk seperti ruangan.
Pemetaan gua merupakan
wujud gambaran atau proyeksi dua dimensi dengan skala lebih kecil, dari suatu
bidang tiga dimensi yang mempunyai batas-batas
tertentu dari suatu gua. Peta gua sangat berguna bagi seorang penelusur untuk
menemukan jalan sebuah lorong dan juga memberikan informasi mengenai data-data
lain yang dibutuhkan seperti kemungkinan lorong lain yang belum ditelusuri.
Peta yang ditampilkan dalam bentuk : tampak atas (Plan section), tampak
samping (Extended section),
serta tampak depan (Projected section).
Menurut Ford (1976) dalam
pemetaan gua yang menjadi dasar dan harus selalu dipegang adalah pengukuran
garis yang melalui gua dengan menggunakan kompas, clino meter
serta roll meter. Adapun tingkat
keakuratan pemetaan dapat dilihat pada daftar berikut yang direkomendasikan
oleh British Cave Research Association (BCRA) yaitu; Grade 1,
Hanya dengan membuat sket dengan akurasi rendah, tanpa membuat pengukuran. Grade
2, digunakan jika diperlukan, untuk
menggambarkan perantaraan dalam akurasi antara grade 1 dan grade 3. Grade
3, Survey magnetic kasar, sudut horizontal dan sudut vertikal diukur
dengan kesalahan ± 50 cm, kesalahan posisi stasiun kurang dari 50 cm. Grade 4, dapat
digunakan jika diperlukan untuk menggambarkan survey tidak sampai grade
5, tetapi lebih akurat daripada grade 3. Grade 5, survey
dengan peralatan magnetic, akurasi
sudut horizontal dan vertikal ±1ยบ. Akurasi pengukuran jarak ± 10 cm, kesalahan
posisi stasiun kurang dari 10 cm. Grade X, survey diutamakan
menggunakan Theodolite sebagai pengganti kompas. atau peralatan non magnetis.[1]
Selain itu BCRA juga
membuat klasifikasi tingkatan peta gua berdasarkan tingkat ketelitian detail survey,
yaitu: class A, semua lorong detail dibuat berdasarkan hapalan luar kepala. Class
B, detail lorong dicatat dalam gua berdasarkan perkiraan. Class C, detail
lorong diukur pada stasiun survey. Class D, detail diukur pada stasiun survey
dan antar stasiun. Potensi gua
secara internal meliputi karakterisktik: letak, jumlah ketersediaan air, tipe
gua, panjang gua, jenis speleotem
gua, biospeleologi, jenis bahaya,
tingkat kerusakan. Secara eksternal berupa pemanfaatan gua, aksesibilitas, konservasi gua
(Hikespi, 2006).
b.
Hasil
Penelitian
Kondisi
Umum Lokasi Penelitian
Kawasan Karst Kabupaten
Pacitan yang merupakan salah satu kawasan bebatuan gamping yang termasuk pada
deretan pegunungan sewu yang
terletak pada 7,550-8,170 LS dan 110,550-111,250 BT dengan luas total kawasan
karst di Kabupaten Pacitan adalah 310,982 km2 hampir sepertiga luas wilayah
kabupaten (Surono & Samodra, 2001). Batas wilayah penelitian: sebelah Utara, Kawasan Non
Karst (Kec. Arjosari dan Kec. Tegalombo Kab. Pacitan). Sebelah barat,
Kabupaten Wonogiri (Provinsi Jawa Tengah). Sebelah Selatan, Samudera Hindia.
Sebelah timur, Kabupaten Trenggalek (Provinsi Jawa Timur).[2]
Dari aspek topografi
menunjukkan bentang daratannya bervariasi dengan kemiringan sebagai berikut: Datar (kelas kelerengan
0 - 5 %) 55,59 Km2 pada 4 %. Berombak (kelas kelerengan 6 - 10 %) 138,99 Km2
pada 10 %. Bergelombang (kelas kelerengan 11 - 30 %) 333,57 Km2 pada 24 %. Berbukit
(kelas kelerengan 31 - 50 %) 722,73 Km2 pada 52 %. Bergunung (kelas kelerengan
51 % lebih) 138,99 Km2 pada 10 %.[3]
Dilihat dari permukaan
air laut letak ketinggian Kabupaten Pacitan tidaklah sama. Kecamatan Pacitan dan Kebonagung
berada pada 0 - 7 m, Kecamatan Donorojo pada 338 m, Kecamatan Punung pada 229
m, Kecamatan Pringkuku pada 357 m, Kecamatan Arjosari pada 26 m, Kecamatan
Nawangan pada 668 m, Kecamatan Bandar pada 964 m, Kecamatan Tegalombo pada 194
m, Kecamatan Tulakan pada 334 m, Kecamatan Ngadirojo pada 10 m, dan Kecamatan
Sudimoro terletak pada 9 m.
Keadaan daerah Kabupaten
Pacitan di bagian selatan pada umumnya berupa batu kapur dan lebih rendah
dibandingkan dengan bagian utara. Sedangkan bagian utara lebih tinggi berupa
tanah yang mengandung potensi bahan
galian mineral, yang di dalamnya mengandung bahan tambang antara lain: feldspar, bentonit, batu bintang (batu kalsit),
batu gipsum, phosphat, batu silikal, bijih besi, batu bara, dolomit,
batu kapur, kalsit, pasir besi, kaolin, batu hias, timah hitam,
mangan,
dan sirtu.
Gua
Dawung
Gua Dawung merupakan
gua horizontal yang terletak di Dusun
Sobo RT 02/ RW 11, Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan. Untuk
menuju ke gua Dawung tidak terlalu sulit, dari Kecamatan Punung mengambil arah
Gua Tabuhan di pertigaan Dusun Gunung Semut, Desa Kendal mengambil arah ke kiri
menuju ke Dusun Sobo, Desa Sekar. Jaraknya dari pasar Punung sekitar 3 km. Gua
Dawung memiliki keindahan dan tantangan tersendiri bagi para pecinta caving atau susur gua. Gua ini berada di
tengah-tengah perkebunan warga. Terlihat dari luar sempit, ternyata menuju
sebuah lokasi sangat luas dengan keindahan yang luar biasa. Menurut informasi
dari pak Joko, selaku warga setempat dan juga merupakan anggota Pacitan Speleology Society (PSS), gua Dawung
sebenarnya sudah pernah di explore oleh
tim dari luar negeri sekitar 24 tahun lalu. Menurut pak Joko orang-orang bule
tersebut masuk ke gua Dawung dari arah luweng Musuk/Sanga, jika mengikuti jalan
darat di permukaan dari gua Dawung ke luweng Musuk/Sanga sendiri jaraknya
sekitar 1,5 km. Para bule yang keluar dari luweng Musuk tembus ke gua Dawung
itu diperkirakan mengikuti aliran sungai bawah tanah.
Awalnya penemuan gua Dawung sendiri sebenarnya
sudah lama dan sudah dipetakan sekitar tahun 90-an,
dan sudah lama tidak terurus hingga tahun 2013/2014 kemudian warga setempat
(pak Joko) mencoba 5 atau 6 kali untuk explore hingga sampai di chamber 5. Tetapi pada saat itu warga setempat belum
percaya akan penemuan gua tersebut dikarenakan minimnya peralatan elektronik
untuk mendokumentasikannya.
Ketika memasuki gua Dawung di dekat mulut gua (entrance) ada turunan yang cukup licin,
sehingga di bagian turunan diberi tali untuk membantu berpegangan. Ada beberapa
medan juga yang berair dan terdapat fauna ikan dan udang. Melalui lorong
sekitar 150 meter dari mulut gua akan bertemu dengan simpangan di mana jika
berbelok ke kanan akan mengikuti aliran sungai, sedangkan yang berbelok ke kiri
dengan sedikit menanjak sejauh 20 meter akan bertemu dengan aula besar yang
merupakan pusat gua dan oleh warga sekitar yang melakukan explore disebut dengan keraton atau istana gua. Di keraton tersebut
pemandangannya sangat luar biasa. Ada telaga yang memiliki air sangat jernih, ornamen stalagtit dan stalagmite
beraneka bentuk bahkan banyak yang menyambung seperti pilar-pilar raksasa.
Bahkan jika di bangun rumah joglo di dalamnya bisa muat dua rumah. Sementara
untuk mencapai pintu pertama gua sendiri harus melalui tiga gerbang pintu.
Untuk mencapai pintu pertama, orang harus turun sekitar 12 meter, dari pintu
kedua ke ketiga juga harus turun melewati celah sempit sedalam tujuh meter, dan
dari pintu ketiga hingga mencapai aula keraton harus berjalan kaki mengikuti
aliran sungai bawah tanah sejauh kurang lebih 150 meter.
Pada tahun 2019 pak Joko mulai
untuk mendokumentasikannya dan mulai mempublishkannya,
tetapi disisi lain ada oknum yang mempublish
terlebih dahulu tanpa izin baik dari pemerintah desa setempat. Lembaga yang menangani dan begitu pula sang
narasumber, sehingga di take down
dari akun tersebut. Pada saat itu gua tersebut seketika mendapat sorotan dan support dari pemerintah desa setempat
untuk akses menuju lokasi gua. Pada saat itu entrance (mulut gua)
tidak terlihat/masih tertutupi bebatuan. Untuk panjang gua Dawung ini belum
diketahui untuk data saat ini sementara sampai 1.200 meter. Di dalam gua tersebut terdapat aliran air yang
mengalir yang diprediksi dari beberapa luweng, untuk indikasinya sendiri
kemungkinan bersumber dari Gujang Warak (Telaga yang tidak akan kering walaupun
kemarau panjang). Untuk saat ini air yang mengalir di dalam gua tersebut belum
dimanfaatkan oleh warga setempat karena mereka masih menggunakan air yang
mengalir dari sumber pegunungan.
Luweng Musuk (Sanga)
Luweng Musuk
terletak di kawasan pegunungan kapur dengan morfologi
pegunungan dengan kerapatan vegetasi sedang, terbukti dengan ditemukannya
berbagai jenis tumbuhan antara lain singkong, sayuran, pinus, jati, dan
pisang. Akibatnya, retakan karst yang signifikan dapat terlihat di
permukaan. Di sebelah barat pintu masuk gua terdapat bukit yang lebih tinggi dengan vegetasi mirip
pohon jati dan ladang pemukiman, sehingga ada beberapa warga yang melewati
sekitar pintu masuk gua.
Kawasan ini
secara administratif terletak di Dusun Gebang, Desa Bomo, Kecamatan Punung,
Kabupaten Pacitan. Pintu masuk ke Luweng Musuk terletak di atas bukit di tengah
hutan jati. Luweng Musuk dapat dikatakan
sebagai gua karena menurut definisinya gua adalah lorong bawah tanah yang dapat
dimasuki manusia, sebutan ini sesuai
dengan definisi International Union of
Caving (IUS). Luweng Musuk merupakan gua alam yang terbentuk melalui proses
geologi ratusan ribu tahun lalu.
Menurut masyarakat setempat, nama lokal gua ini lebih disebabkan karena di sini
banyak terdapat “musuk” atau sejenis kelelawar yang muncul pada sore hari dan
terkadang ditangkap dan dijual oleh masyarakat setempat, yang nantinya akan
diperoleh produk pengobatan asma.
Saat memasuki gua
rombongan atau tim harus sangat berhati-hati karena mulut gua musuk berbentuk
lubang bulat besar dengan lorong terjal (vertikal) hingga kedalaman ±70 – 80
meter, sehingga cukup menyulitkan untuk memasukinya. Selain itu, peralatan yang
tepat dan keterampilan memanjat diperlukan untuk mengaksesnya. Setelah memasang
tali utama melalui celah batu besar di
depan pintu masuk untuk memandu jalan dan tali tetap yang digantung di dasar
gua (fixed strap), selanjutnya tim bergantian
menuruni sumur (Rapelling) hingga
mendekati dasar gua. Setelah rombongan sampai di dasar gua yang berbentuk hutan
kecil dengan vegetasi pohon-pohon kecil setinggi 3 meter, lebar dasar gua
berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar 40 meter agak landai. Kemiringan lantai
dasar gua ini berakhir di sungai selebar kurang lebih 5 meter. Sungai bawah
tanah inilah yang kemudian menjadi fokus penelitian utama Luweng Musuk.
Kami mulai
menjelajahi tepian gua yang merupakan sungai
bawah tanah, menuju ke hulu sungai. Explore
dilakukan dengan berjalan menyusuri bantaran sungai, sungai ini memiliki
kedalaman setinggi lutut hingga seperut dan memiliki lapisan lumpur yang tebal.
Dinding sungai sering kali terbuat dari batu kapur keras yang membentuk saluran akibat erosi air yang
terbentuk selama ribuan, bahkan jutaan tahun. Pada bagian atas, atap sungai
membentuk cekungan berbentuk kubah, dihiasi banyak stalaktit kecil-kecil yang
masih aktif sehingga nampak seperti langit yang terdapat sinar bintang.
Pemandangan
indahnya dekorasi gua pun terpampang di depan mata kami. Hiasan berbentuk stalaktit membentuk balok-balok batu yang
tersusun rapi dengan diameter seragam sekitar 10 cm menarik perhatian kami. Di
sinilah tim mengambil kesempatan untuk mengambil beberapa foto asyik,
mengabadikan keindahan bumi untuk
dinikmati jutaan orang, di ketinggian sekitar 70 meter ini. Tim terus berjalan
menyusuri sungai dengan medan yang sama, terkadang diselingi jeram kecil. Dekorasi
di dalam gua semakin beragam, ada yang
terlihat seperti jamur dengan paku kayu yang menempel di pohon tropis saat
hujan, dan ada pula yang terlihat seperti sawah bertingkat (gourdam). Semua dekorasinya terbuat dari
batu mengikuti kemauan air yang
berkreasi sehingga memberikan bentuk yang indah. Dalam dekorasi tersebut kita
belajar bagaimana kesabaran, ketenangan dan ketentraman akan menciptakan
sesuatu yang indah dan tentunya sangat cantik.
Ornamen di dalam gua banyak yang hidup seperti stalaktit, stalakmit, gourdam, dll,
dan atap guanya sangatlah tinggi. Biota yang dapat ditemui berupa ikan wader,
ikan lele, udang, kepiting, kelelawar, dan jangkrik. Setelah berjalan sekitar 500 meter dari pintu masuk gua,
tim memutuskan untuk berhenti melakukan explore
dan segera keluar gua karena juga sudah mulai sore. Tentu saja tim tidak boleh
menyesal karena explore tersebut
tidak dilakukan secara mendalam. Namun, keselamatan dan kesehatan setiap
anggota kelompok adalah perhatian utama ketika melakukan aktivitas di alam liar.
Dari hasil pengukuran Gua Dawung,
didapatkan jumlah stasiun sepanjang lorong gua yaitu 37 stasiun. Dengan stasiun terpanjang berada
di stasiun 33 - 34 dengan panjang 27.40
meter, kedua berada pada stasiun 30-31 dengan panjang 25.23 meter, dan jarak
yang paling terpendek ada pada stasiun 7-8 yaitu 90 centimeter. Perubahan
kemiringan lantai gua paling besar terdapat di stasiun 3-4 dengan kemiringan -40°
dan pada stasiun 16-17 dengan kemiringan 18° dimana tanda (-) menunjukkan
lantai mengalami penurunan, sebaliknya jika tidak menggunakan tanda (-)
menunjukkan kenaikan lantai gua (tanjakan). Terdapat beberapa jenis ornament
yang tersebar sepanjang lorong gua yaitu stalaktit,
stalakmit, canopy, gordyn, colum, draperis, dan straw. Ornament yang paling
mendominan yaitu stalaktit dan stalakmit. Berdasarkan hasil pengamatan
dan pengolahan data pengukuran pada Gua Dawung, maka dapat diperoleh gambaran
dari morfometri gua.
Yang telah dipetakan gua
dawung memiliki panjang lorong 429,66 meter dengan jumlah 37 stasiun. Dari 37
stasiun ada beberapa di titik stasiun memiliki panjang yang lebih di banding
dengan jarak stasiun dengan stasiun lainnya. Stasiun 33 - 34 dengan panjang
27.40 meter, kedua berada pada stasiun 30-31 dengan panjang 25.23 meter. Jarak
stasiun dari 33-34 merupakan stasiun yang memiliki jarak terpanjang dari
stasiun-stasiun yang lainnya ini di karenakan lantai gua yang datar, tidak
adanya ornament yang mengahalangi pengukuran jarak antar stasiun sehingga
memiliki jarak 27.40 meter begitupun dengan stasiun 30-31. Untuk stasiun dengan
jarak terpendek yaitu stasiun 7-8 dengan panjang 90 centimeter ini di karenakan
atap yang rendah dan banyak stalaktit
di atap tersebut, sehingga dalam pembidikan maupun pengambilan data lainnya
kurang nampak apabila jaraknya terlalu jauh. Di bagian stasiun tersebut juga
medannya berair, sehingga dari kami harus waspada terkait pengamanan worksheet dan peralatan lainnya.
KESIMPULAN
Pacitan merupakan daerah yang yang memiliki jargon “Kota 1001 Gua”.
Kabupaten Pacitan merupakan daerah yang memiliki banyak gua, sebagai salah satu
khas daerah karst (batuan kapur) yang dominan memenuhi wilayah tersebut. Karena
banyaknya gua yang ada di Pacitan, maka kelompok Pecinta Alam terutama yang
berkegiatan di susur gua (caving)
sering melakukan kegiatan explore maupun pemetaan di sana. Banyak gua-gua yang
masih sedikit di explore dan bahkan
ada yang sama sekali belum di explore.
Dengan adanya kegiatan susur gua (caving),
observasi, dan beberapa informasi dari hasil wawancara dapat diketahui terkait
kehidupan dan keindahan gua-gua yang terutama berada di Kabupaten Pacitan. Banyak
pengetahuan dan juga wawasan yang bisa didapatkan dari kegiatan tersebut,
sehingga diharapkan bisa menjaga kealamian dari gua-gua tersebut. Untuk menjaga
umur gua agar tetap alami, etika penelitiannya yaitu tidak mengambil apa pun
kecuali foto (Take Nothing But Picture),
tidak menyisakan atau meninggalkan apa pun kecuali jejak (Leave Nothing But Footprint), dan tidak membunuh apa pun kecuali
waktu (Kill Nothing But Time).
DAFTAR PUSTAKA
Boby
Hertanto, Hendrik., dan Windi Hartono. (2017). Penataan dan Pengelolaan Terpadu Potensi Sumber Daya
Tambang Kawasan Karst Kabupaten Pacitan. Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS.
Catatan Perjalanan, https://yeyekstapala.blogspot.com/2010/10/luweng-musuk-desa-bomo-pacitan.html?m=1, diakses pada 7 Oktober 2023.
Gita
Harmony, Agus Joko Pitoyo.
Kajian Potensi Gua Sebagai Arahan Wisata Minat Khusus Penelusuran Gua di
Pulau Nusakambangan.
Mijiarto, Joko, dkk. (2014). “Potensi dan
Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Karst Gua Gudawang”. Media Konservasi.
Vol. 19, No. 1, hal. 57
– 66.
National
Geographic Indonesia, https://www.google.com/amp/s/nationalgeographic.grid.id/amp/13285031/susur-gua-untuk-memperkaya-ilmu-pengetahuan, diakses pada 7 Oktober 2023.
Sulistyo, Joko. (2008). Analisis Persebaran Potensi Gua Karst di
Kecamatan Giritontro Kabupaten Wonogiri untuk
Usaha Konservasi Kawasan Karst, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Uca,
Ria Anggriani. (2018). “Pemetaan Gua Kalibbong Aloa Kawasan Karst Pangkep”. Jurnal Sainsmat. Vol. VII, No. 2, hal. 92 - 101.
Zuhri, Amirudin.
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://halopacitan.com/amp/gua-dawung-gerbang-menuju-keindahan-di-perut-bumi,
diakses pada 7 Oktober 2023.
[1]Joko Sulistyo, Analisis
Persebaran Potensi Gua
Karst di Kecamatan
Giritontro Kabupaten Wonogiri
untuk Usaha Konservasi
Kawasan Karst, (Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2008).
[2] Hendrik Boby
Hertanto, dan Windi Hartono, Penataan dan Pengelolaan Terpadu Potensi Sumber Daya Tambang
Kawasan Karst Kabupaten
Pacitan, Prosiding
Seminar Nasional Geografi UMS, 2017.
[3] Uca Ria
Anggriani, “Pemetaan Gua Kalibbong Aloa Kawasan Karst Pangkep”, Jurnal
Sainsmat. Vol. VII, No. 2, (2018), hal. 92 - 101.
No comments:
Post a Comment